Selasa, 06 April 2010

aku kamu dia

Kamu jauh disana. Jauh dari dia. Kamu di dalam telepon, memenjarakan dia. Tapi dia disini, bersamaku. Baru saja dia tertawa, menertawakan kata-kata dariku untuknya. Dia begitu manis, dan menyukai hal-hal kecil. Tertawa dan aku suka senyumnya.

Tapi kamu berdering lewat handphone-nya. Dia menggeser slider dan berkata, “Hallo, sayang?”. Aku Cuma terdiam melihat jalanan. Jalanan berisik. Seperti hatiku untuk dia sekarang. Lebih berisik karena ada kamu di tengah-tengah ini semua.

Beberapa detik kemudian, aku tau kamu sedang memarahinya. Entah karena apa. Dia, kamu buat tanpa tawa. Dia melihatku dalam hitungan 1 setengah detik, tapi aku tidak berusaha melihat matanya. Matanya yang kamu buat penuh dengan kesedihan. Apa yang membuat kamu memilih untuk tidak membuatnya tertawa?

Aku berlari mencari tempat duduk, memayungi kepalaku dengan punggung tangan. Meninggalkan ia dengan suaramu. Aku memanggilnya untuk ikut denganku. Dan ia hanya mengangguk sebelum akhirnya 2 menit kemudian, ikut denganku.

Tapi ia tidak duduk denganku. Dia memilih berdiri di luar dan berbicara denganmu. Kamu tau aku memperhatikan dia? Pelan-pelan dia menggerakkan tangannya seolah-olah bicara langsung denganmu, memberimu pengertian agar tidak datang lewat gelombang dengan amarah.

Lama. Akhirnya ia menarik bibirnya dengan susah payah, mencoba tersenyum untukmu yang tidak bisa menikmati senyuman itu. Hah. Senyuman, kesabaran dan rasa sayang itu untuk kamu. Kamu yang memilikinya dan takut kehilangan dirinya, namun menumpahkan itu semua dengan marah.

Ia menutup handphone. Melihatku sebentar, melihatku yang tetap mencoba untuk tidak melihatnya. Kemudian ia masuk ke toilet. Keluar dari sana setelah menit-menit berlari, dengan tisu untuk mengeringkan mukanya. Berjalan menuju ke arahku, membuang tisu ke kaleng sampah, dan tersenyum kecil ketika aku melihatnya.

Aku menggerakkan kepalaku ke arah kursi di sebelah kiri. Memintanya untuk duduk di sebelahku. Dia hanya duduk dan kemudian diam. Aku mulai bertanya, “Ada apa?”. Dia menjawab, pertengkaran-pertengkaran kecil dengan dirimu, seolah itu sudah biasa terjadi.

Aku benci melihatnya seperti ini. Hanya karenamu yang datang tiba-tiba, mengambil tawanya lewat udara. Kuambil handphone-ku dan mengirim SMS.

Handphone-nya berdering singkat, dan ia membaca sebuah SMS.

“Smile, dong…! Muka lo jelek banget kalo kaya gitu”

Ia tersenyum lebar dan melihatku. Aku tau, dia siap untuk tertawa lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar