Kamis, 14 Mei 2009

opor mata

Saya belakangan ini pasti menagis kalo nonton film romantis. Ini karena pacar saya pulang ke Bali. Saya jadi sendiri. Tapi saya berjanji untuk menunggu dia disini, di Jakarta. Sampai nanti dia datang lagi. Dengan teman-temannya. Main band.
Oh, itu saya nonton film Sex and the City. Saya nangis lagi. Ingat pacar. Lalu ingat retina yang kemarin dikupas dan dilaser. Saya takut lapisan luar mata saya lepas, dan berkibar-kibar seperti bendera Indonesia Raya.
Ingat operasi, ingat hari itu. Hari ketika mata saya diamplas. Supaya silinder hilang, kata Dokter. Menyebabkan sekarang mata saya jadi terang. Nggak buram lagi seperti dulu.
Itu saya waktu itu. Ada di lantai 1 dengan tangan dan kaki dingin. Bukan, bukan karena takut dioperasi. Beneran. AC terlalu dingin. Kenapa? Kenapa melihat nggak percaya gitu ke saya?
Saya santai. Karna belum tau rasanya dioperasi itu gimana. Masuk ke dalam ruang tunggu sambil pakai baju hijau tanda pasien operasi. Dengan rambut ditutup kain seperti mau mandi. Mata masih buram.
Capek menunggu, suster datang. Giring saya ke ruang operasi. Suster menidurkan saya di tempat yang seharusnya. Saatnya mengupas mata. Deg-degan bunyi jantung saya. Jadi tegang karna alatnya mahal. Takut kesenggol saya, terus rusak dan saya disuruh ganti rugi. Takut keluarga saya miskin karenanya. Takut saya gak bisa kuliah lagi.
Sinar terang menghampiri mata saya. Selotip dan penyangga mata sebesar koin dihias ke mata saya. Sayang saya gak bisa liat rupa saya waktu itu. Mungkin saya ketawa, ngetawain muka yang ala kadarnya ini.
Tapi gak berapa lama, suster bilang udah selesai, dan saya harus nunggu lagi. Gak tau nunggu apa. Saya sih nurut aja. Biarpun agak nyesel juga. Kenapa saya bayar mahal tapi Cuma untuk disuruh-suruh?
Aduh, saya dipanggil lagi. Kali ini apa? Oh, ternyata saatnya kupasan mata yang masih menempel itu dibuka. Bahasa kasarnya, dicongkel. Dokter congkel-congkel mata saya. Kenapa saya bayar mahal untuk disakiti? Dokter jahat. Saya nggak suka.
Kata Dokter, lapisannya udah kebuka. Dokter bilang gitu ke suster, bukan ke saya. Saya kan bukan asistennya. Suster bilang, “Oke siap. 58 detik”.
Apa-apaan ini? Ada bom mungkin di mata?
Ada cahaya merah yang bisa saya liat. Dan ada bau gosong yang bisa saya hirup. Mungkin itu namanya dilaser. Tapi kok gosong? Maaf Dokter, saya Cuma takut tembus sampai ke belakang kepala.
Lapisan ditutup lagi. Dan dokter titip resep ke suster. Bukan resep opor mata. Tapi resep obat antibiotik untuk mata saya.
Jadilah mata saya sekarang terang benderang jinggrang jinggrang. Lampu-lampu di jalan udah gak pendar lagi. Allahuakbar... Siapa yang bikin alat itu ya? Mau saya surati. Bilang makasih. Bilang alatnya hebat.
Tapi kadang saya rindu. Rindu pada cahaya jalan yang pendar. Yang jadi pemandangan paling indah yang sekarang gak bisa saya nikmati lagi...


Fin*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar