Minggu, 10 Mei 2009

-Bunga matahari di kepala Zaki-

Itu saya, by the way… duduk di pagar kampus yang bertuliskan “DILARANG DUDUK DI PAGAR”. Itu saya, by the way… Dengan pulpen dan otak untuk memikirkan judul cerita. Itu saya by the way… sendiri tapi berdua. Berdua dengan angin yang nggak nampak.
Ini jam sudah bermuka 17:12. Bukan waktu yang special dan penting. Tapi lihat itu, disitu. Saya di pagar beton melipat A4 jadi dua. Pulpen diambil dan tinta digores. Hari masih sore dan kampus masih ramai diinjaki orang.
Saya sendiri. Itu yang special. Nggak ada teman untuk bergerombol, nggak ada teman untuk ngobrol. Saya mulai menulis judul, ‘Hari-hari tanpa hura-hura’. Sambil mikir kenapa saya bisa sendiri. Teman semester 1 dan 2 saya sedang sibuk. Ya itu, sibuk bergerombol. Teman semester 3 saya juga sedang sibuk. Ya itu, sibuk ngobrol.
Saya pergi sendiri ke pagar ini dengan perut buncit. Banyak ruang di perut saya. Tapi ruangan itu kosong. Cuma berisi saya dan makanan kemarin yang belum bisa dibuang.
Wah, tadi angin menampar-nampar pelan ke wajah saya. Nggak tau motifnya apa. Mungkin nyapa, mungkin naksir. Saya nggak tau. Dan yakin kalo saya nggak mau tau.
Itu. Itu yang namanya Zaki. Rambutnya besar dan kepalanya mirip bunga matahari. Mekar dan besar. Menyapa saya. Bertanya, saya lagi apa. Ingin saya bilang ke dia kalau saya sedang kentut. Tapi saya urungkan. Biarlah dia merasakan fakta itu seorang diri.
Saya lihat jauh ke belakang rambutnya. Ada Arif, Rico dan Dimas yang duduk-duduk. Sedang ditampar-tampar angin juga rupanya.
Nggak lama setelah Zaki mengatai saya dengan kata-kata “Nulis apa”, mereka ikut datang ke pagar yang nggak boleh diduduki ini. Menggendong tas mereka masing-masing.
Mereka berkumpul, bernyanyi. Nyanyi akapela. Membuat saya buka mulut. Kasih liat gigi, tertawa. Dengar itu, mereka bikin ribut dengan lagu Rap campur Dangdut-nya. Norak. Tapi saya nggak pergi menjauhi mereka. Hanya nonton dan nyengir.
Capek nyanyi, mereka mulai ngomongin tentang perempuan. Mulai dari perempuan yang lewat di depan kampus, sampai ramuan maut mengganyang perempuan. Subhanallah… Lagaknya kayak nggak ada perempuan aja disitu. Mereka kira saya ini sekelamin dengan mereka?
Tiba-tiba, teman mereka datang menjinjing kamera. Meminjamkan si kamera ke Arif. Oh, nggak perlu waktu lama untuk meyakinkan diri kamu, bahwa mereka adalah banci kamera sejati. Lihat Zaki, pakai bando di kepala. Bikin bunga matahari berubah seperti konde.
Mereka dan saya, sibuk foto-foto tanpa peduli sekeliling. Toh, dunia sudah indah. Dunia nggak perlu saya untuk memperindah dirinya. Saya cuti sebentar. Mau foto-foto dulu. Supaya barangkali nanti foto itu disimpan, bisa jadi kenangan yang berharga tentang saya, kalau-kalau nanti saya jadi selebriti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar