Sabtu, 30 Mei 2009

keracunan polusi suara

Saya sedang bergaya anak muda
datang memasuki sebuah resto berjudul Burger Grill

Sesak
Penuh Sesak
Sesak karena begitu banyak makhluk pacaran
di lingkungan sekitar


Sial
Sungguh sial
Saya duduk merasuki ruangan bermain anak2
Sial
Sungguh Sial
Semua tempat penuh
Saya pun penuh
penuh dengan perasaan kesal berkarena saya benci anak2



Oh Sial kuadrat
Selain makhluk pacaran
banyak pula makhluk beranak

Oh Sial pangkat tiga
BERISIIKK...

oh sial pangkat empat
saya mulai linglung
keracunan teriakan bocah
...


*Cause she had a bad day... La la la*

Jumat, 29 Mei 2009

persahabatan ANGIN dengan PUP

hari ini saya belum kentut
belum pret

hari ini orang-orang pasti menyesal
menyesal yang sangat dalam

menyesali mengapa mereka tidak dapat
menikmati kentut yang biasanya saya hembuskan
baik secara langsung, maupun secara paksa

saya selalu berpikir
ya iya iya
kalau saya brenti mikir.
mampus dong
metong dong
gimenong sich yey

saya pikir, kenapa oh kenapa kentut saya bau?
apa karna dosa saya dikandung badan sampe busuk?
apa musti tobat dulu baru kentut saya wangi?

ah saya yakin seyakin-yakinnya SBY memerintah negeri ini
yakin kalau kentut para ulama itu pasti bau
sayang, saya ga bisa pastikan apa nabi itu juga kentut
dan jikalah iya, maka apakah itu bau?

saya juga yakin.
yakin ini akibat persahabatan angin dengan pup yang belum saya tabung ke banKloset. yang bikin angin dan pup merajalela menjadi kentut.
alangkah indahnya.

itulah mengapa saya kadang berpikir untuk tidak kentut sesudah saya 'nabung'
supaya kentut saya bau.
supaya perasaan si angin tak hampa
hampa karena terpisah dengan sahabatnya.


saya akui, saya ini memang hebat.
di dalam diri saya, ada persahabatan
persahabatan yang katanya siapa itu, mirip kepompong.

Selasa, 26 Mei 2009

FESTIVAL JEJERIT REMPONG

Hari ini saya dan kawan-kawan ribut mengartikan satu kata: “Rempong”. Berhubung dosen saya yang asli Filipina dan sudah hijrah kemana-mana itu, ingin sekali tau artinya rempong, maka kita dengan susah payah mencoba mengartikannya lewat. . .bahasa Indonesia.

Kemarin, kami, seganjil anak-anak Performing Art Communication yang berjumlah tidak genap ini melalui mid test atau bahasa kupernya Ujian Tengah Semester. Dan mid test kami untuk pelajaran Voice of Performance II: Vocal and Instruments, diharapkan dengan setulus hati untuk membuat sebuah performance. Boleh solo, duet, trio atau band atau apalah suka-suka kami. Kesenangan yang diberikan kepada kami adalah hak menentukan sendiri nama apa yang mau kami pakai guna melambangkan diri kami atau band kami.

Dan tentu saja, ada hak juga pasti ada kewajiban. Saat inilah salah sebanyakorang di kelas saya yang membentuk sebuah grup menyanyi yang bukan choir, memilih nama “Rempong” dan mereka sedang melaksanakan kewajibannya mengartikan nama tersebut.

Pertama saya jejerit, “Sibuk! Sibuk!”. Jerit paling keras supaya didengar dan diperhatikan. Biasalah, kan negara demokrasi. Kalo gak demo keras-keras, ya gak didengar.

Tapi ada juga yang menyaingi, “Rame! Rame!”
Suara ketiga bilang, “Ribet!!”
Suara keempat, “Riweh!!”
Suara saya, “Sulit!” agak gak nyambung, tapi biarlah... asal teriak.
Suara teman saya, “Busy!Busy!!”
Suara teman saya yang lain, “Complicated!!!”
Suara saya lagi, “Masa susah! Pancaroba!!” sangat gak nyambung, tapi biar lagi lah...

Saat itu sepertinya tidak ada teman yang tau saya teriak itu. Mungkin sibuk bikin bingung dosen saya. Kalau ada diantara kalian yang juga bingung, kenapa saya memilih pancaroba untuk arti sebuah “Rempong”, alasannya adalah....


KARENA,
Rempong itu situasi yang sibuk, riwet, ribet, riweh,membingungkan. Nah, dalam masa itu, tentu sangat bisa kita sebut masa sulit. Masanya orang-orang kesusahan. Ya, pancaroba-pun sebenarnya juga sebuah realitas masa sulit.

Jadi, ada yang setuju bahwa REMPONG berarti PANCAROBA?

Rabu, 20 Mei 2009

Semalam Dengan Kenny

Malam ini hujan turun lagi, sama seperti hari kemarin. Setiap malam dingin, setiap malam gak mandi. Habis mau bagaimana lagi, saudara? Kaki kering aja dingin, apalagi kaki basah?
Tidurpun tetap kedinginan. Mimpipun, mimpi dikubur dengan salju. Coba itu, pakai selimutnya. Saya pakai selimut saya. Wahai kawan, selimut saya aja dingin. Selimut apa ini? Mana janji si Abang di Tanah Abang ketika ibu saya beli selimut ini? Katanya bisa jadi hangat kalau ditiduri selimut. Ini malah selimut yang minta dihangatkan sama saya. Untung pacar saya gak liat, kalo dia liat bisa cemburu buta.
Aduh emak, kaki ini mati rasa-pun. Harus digosok berapa lama lagi supaya hangat? Aduh emak, tangan ini dingin kali pun. Harus berapa lama lagi saya jepitkan ke ketek? Aduh emak, ketek saya ikut dingin pun...
Saya ingat Mama. Lagi apa ya dia sekarang? Mungkin duduk di rumah sambil nonton sembari angkat kaki dan jepit rokok di tangan. Pernah saya dan Rio, kakak saya, mau belikan dia asbak yang bentuknya paru-paru. Biar dia liat waktu dia ketuk-ketuk rokok di asbak, dia sedang mengotori paru-paru. Mamak, berhentilah rokoknya. Dikumpulin uangnya. Kata Dokter, kalo dihitung-hitung, bisa bikin hotel, Mamak...
“Emang si dokter yang gak ngerokok itu udah punya hotel?”
Saya langsung diam. Pasang headset. Dengar lagu MP3.
Dengar lagu MP3... Seperti sekarang ini... Oh, ini Kenny G.
Itu lagu Kenny G, ya Allah... Si peniup yang Kau ciptakan itu. Masa lupa? Hari sudah malam dan dingin begini, masih aja dia tiup-tiup terompet. Tahun baru rasa-rasanya udah lewat pun.
Saya goyang-goyang kepala gaya metal mendengar lagu-lagunya yang jazzy. Memang kenapa kalau saya lebih suka begitu? Saya joget dangdut kalo denger instrumen Beethoven. Saya melandai-landai kalo denger lagu Navicula. Saya diem aja kalo denger lagu dangdut. Biar dikira orang saya benci lagu dangdut. Huu... lagu kampungan. Lagu gak berkelas. Padahal dalam hati saya menjerit suka. Kalo judul lagu Rossa “Atas Nama Cinta”, kalau saya “Atas Nama Gengsi dan Nama Baik Keluarga”.
Ah, nggak. Semua saya Cuma bercanda.
Mata saya kedap-kedip. Makin lama, ketika sedang sesi merem saat berkedip, sulit sekali untuk kembali melek. Ah, saya matikan lampu, matikan Kenny, minta ditiduri selimut, tutup mata dan baca do’a.
“Ya Allah, tidur malam ini jangan lupa pake kaos kaki. Jangan seperti saya ini yang gak pake. Maklum Tuhan, kaos kaki hanya tinggal sebelah...”

Senin, 18 Mei 2009

What indonesian people need for the next 5 years?

Apa yang bisa diharapkan dari para presiden-presiden yang maju dengan percaya diri mengharapkan kemenangan melalui ajang pemilihan Presiden se-Indonesia? Kenapa bisa kita percaya begitu saja kata-kata mereka? Apa mungkin lihat muka yang eksotik dengan hiasan lingkaran hitam di sudut bawah dagu? Atau mungkin lihat gelar sebagai pemimpin di provinsi tempat kelahirannya yang menyebabkan darahnya disebut biru? Atau mungkin juga karena kebetulan visinya yang begitu perhatian dengan rakyat kecil yang selama ini teriak-teriak minta dimakmuri? Ataauuu... Karena alasan simpel dan tanpa repot yang bertema ,’Lanjutkan!’?

Kerja siapapun pasti bagus asal benar dan jujur. Asal para “kaki-kaki”nya juga ikutan benar dan jujur seperti atasannya. Liburan kemarin saya pulang ke tempat kelahiran saya. Malu kalau disebut. Nanti ketahuan bobrok milik siapa, dan ketahuan dimana bisa ditemukan kebobrokan tersebut.

Ada banyak promosi-promosi partai dan para calon legislatif yang mendekorasi jalanan dan membuat pemandangan menjadi tidak seperti yang turis-turis inginkan saat mereka menghabiskan duitnya untuk pergi ke kampung saya itu.

Di suatu pertigaan, billboard besar terpampang dengan gagahnya. Oh, bagus ini. Strategis. Saya lihat ke arah gambarnya. Ups, kenapa di kupingnya ada hiasan perempuan? Yang sama sekali tidak membuat ia tampak ganteng, tidak membuat ia terlihat dapat dipercaya untuk menjadi bagian dari lembaga legislatif, dan tidak. Tidak, dia bukan perempuan. Tapi iya. Iya, dia terlihat seperti preman desa.

Ok, tidak masalah... Selagi Charlie ST12 juga pakai anting-anting, saya rasa bolehlah ini disebut sebagai ikutan tren.

Di jalan berikutnya di hari berikutnya, saya makan di suatu tempat makan lesehan. Mmm... sebenarnya disebut lesehan juga tidak tepat berhubung warung ini buka di tempat parkiran toko yang sudah tutup, dan saya, juga para pembeli yang lainnya, mau tidak mau-suka tidak suka, duduk di parkiran tersebut beralaskan tikar.

Menunggu makanan, saya melihat-lihat spanduk dan billboard untuk kali kedua. Ow, kali ini ada yang jumlah fotonya 3. Yang satu foto Pak Capres wakil dari partainya, yang satu lagi foto dia, dan satu lagi saya juga kurang tau itu foto ibunya siapa. Yah, mungkin itu ibunya. Dia sayang ibu. Baguslah. Hormati ibu, berarti hormati rakyat juga.

Di hari berikutnya lagi, di sudut jalan yang berbeda, saya melihat poster. Hmm... Ini rupa-rupanya seperti poster iklan untuk promosi tempat main billiard baru. Kebetulan saya mau ajak teman-teman saya main billiard. Eh, setelah saya baca dan saya sadar-sadarkan diri. Ini ternyata foto caleg. Bingungnya saya, kenapa dia harus pose sambil main billiard? Oh, mungkinlah jikalau ia menang nanti, kita yang dukung dia bisa ditraktirnya main billiard. Bolehlah, saya contreng dia nanti.

Entah di hari ke berapa saya bersenang-senang, saya terusik lagi dengan gambar-gambar caleg itu. Untung kali ini terusik yang bisa bikin saya ketawa lebar. Biasanya di dalam promosi caleg itu, ada foto si caleg dan si capres. Tapi yang ini kok beda?
Ini foto si caleg dan si Ronaldo. Iya, Christiano Ronaldo. Yang pria pasti tau siapa dia, karena seringnya nonton sepak bola. Yang perempuan juga pasti tau siapa dia, saking keseringan diajakin pacarnya nonton sepak bola.

Apalah maksud caleg satu ini. Saya tidak tau dan tidak yakin apa mungkin capresnya telah melakukan koalisi dengan Ronaldo demi menjaring supporter, saya benar-benar tidak tau.

Weleh, kali ini saya terusik lagi. Karena yah, apalagi kalau bukan billboard caleg? Caleg satu ini berpose berduaan sama ayamnya. Mungkin dia penjual ayam. Oh, tidak apa-apa kalau benar alasannya karena itu. Tapi bagaimana kalau karena hobinya yang doyan mengadu ayam?

Rakyat mau dikasih makan apa? Sementara dia sibuk kasih makan ayamnya dan cari strategi supaya ayamnya menang adu ayam. Wah, ini kejahatan. Tapi mau bilang apa?

Hari-hari saya selanjutnya masih normal dan seharusnya akan tetap normal jika teman saya tidak bercerita tentang mantan bapak kost-nya yang ikutan jadi caleg. Duh, kenapa saya harus tau ini semua?
Dengar-dengar bapak satu ini doyan judi. Saya kurang jelas judi jenis apa. Tapi saya yakin dosanya tetap sama. Nah, ketika si bapak ini kehabisan uang karena kalah judi, dia pergi ke kost-kostan miliknya untuk menagih uang sewa. Meskipun masih jauh hari yang disepakati untuk melakukan pembayaran, dia tidak peduli. Ini yang membuat beberapa penghuni kesal dan termasuk pula teman saya yang satu itu. Mungkin karena itu juga dia berhenti nge-kost disana.
Hebatnya, dia dipilih menjadi caleg. Hallo? Apa ada akal sehat di kepala anda? Saya ingin bicara dengan akal sehat anda.

Memikirkan betapa rusaknya pemilihan caleg ini membuat saya mudah saja untuk bergabung dengan para golputer. Bagaimana tidak? Saya tidak akan menyerahkan negeri saya ini untuk diobrak-abrik oleh orang-orang seperti mereka. Kenapa? Mereka mau marah ke saya? Marah saja, toh saya tidak peduli. Sama seperti mereka tidak peduli terhadap negara saya.

*Fin

Kamis, 14 Mei 2009

opor mata

Saya belakangan ini pasti menagis kalo nonton film romantis. Ini karena pacar saya pulang ke Bali. Saya jadi sendiri. Tapi saya berjanji untuk menunggu dia disini, di Jakarta. Sampai nanti dia datang lagi. Dengan teman-temannya. Main band.
Oh, itu saya nonton film Sex and the City. Saya nangis lagi. Ingat pacar. Lalu ingat retina yang kemarin dikupas dan dilaser. Saya takut lapisan luar mata saya lepas, dan berkibar-kibar seperti bendera Indonesia Raya.
Ingat operasi, ingat hari itu. Hari ketika mata saya diamplas. Supaya silinder hilang, kata Dokter. Menyebabkan sekarang mata saya jadi terang. Nggak buram lagi seperti dulu.
Itu saya waktu itu. Ada di lantai 1 dengan tangan dan kaki dingin. Bukan, bukan karena takut dioperasi. Beneran. AC terlalu dingin. Kenapa? Kenapa melihat nggak percaya gitu ke saya?
Saya santai. Karna belum tau rasanya dioperasi itu gimana. Masuk ke dalam ruang tunggu sambil pakai baju hijau tanda pasien operasi. Dengan rambut ditutup kain seperti mau mandi. Mata masih buram.
Capek menunggu, suster datang. Giring saya ke ruang operasi. Suster menidurkan saya di tempat yang seharusnya. Saatnya mengupas mata. Deg-degan bunyi jantung saya. Jadi tegang karna alatnya mahal. Takut kesenggol saya, terus rusak dan saya disuruh ganti rugi. Takut keluarga saya miskin karenanya. Takut saya gak bisa kuliah lagi.
Sinar terang menghampiri mata saya. Selotip dan penyangga mata sebesar koin dihias ke mata saya. Sayang saya gak bisa liat rupa saya waktu itu. Mungkin saya ketawa, ngetawain muka yang ala kadarnya ini.
Tapi gak berapa lama, suster bilang udah selesai, dan saya harus nunggu lagi. Gak tau nunggu apa. Saya sih nurut aja. Biarpun agak nyesel juga. Kenapa saya bayar mahal tapi Cuma untuk disuruh-suruh?
Aduh, saya dipanggil lagi. Kali ini apa? Oh, ternyata saatnya kupasan mata yang masih menempel itu dibuka. Bahasa kasarnya, dicongkel. Dokter congkel-congkel mata saya. Kenapa saya bayar mahal untuk disakiti? Dokter jahat. Saya nggak suka.
Kata Dokter, lapisannya udah kebuka. Dokter bilang gitu ke suster, bukan ke saya. Saya kan bukan asistennya. Suster bilang, “Oke siap. 58 detik”.
Apa-apaan ini? Ada bom mungkin di mata?
Ada cahaya merah yang bisa saya liat. Dan ada bau gosong yang bisa saya hirup. Mungkin itu namanya dilaser. Tapi kok gosong? Maaf Dokter, saya Cuma takut tembus sampai ke belakang kepala.
Lapisan ditutup lagi. Dan dokter titip resep ke suster. Bukan resep opor mata. Tapi resep obat antibiotik untuk mata saya.
Jadilah mata saya sekarang terang benderang jinggrang jinggrang. Lampu-lampu di jalan udah gak pendar lagi. Allahuakbar... Siapa yang bikin alat itu ya? Mau saya surati. Bilang makasih. Bilang alatnya hebat.
Tapi kadang saya rindu. Rindu pada cahaya jalan yang pendar. Yang jadi pemandangan paling indah yang sekarang gak bisa saya nikmati lagi...


Fin*

Minggu, 10 Mei 2009

-Bunga matahari di kepala Zaki-

Itu saya, by the way… duduk di pagar kampus yang bertuliskan “DILARANG DUDUK DI PAGAR”. Itu saya, by the way… Dengan pulpen dan otak untuk memikirkan judul cerita. Itu saya by the way… sendiri tapi berdua. Berdua dengan angin yang nggak nampak.
Ini jam sudah bermuka 17:12. Bukan waktu yang special dan penting. Tapi lihat itu, disitu. Saya di pagar beton melipat A4 jadi dua. Pulpen diambil dan tinta digores. Hari masih sore dan kampus masih ramai diinjaki orang.
Saya sendiri. Itu yang special. Nggak ada teman untuk bergerombol, nggak ada teman untuk ngobrol. Saya mulai menulis judul, ‘Hari-hari tanpa hura-hura’. Sambil mikir kenapa saya bisa sendiri. Teman semester 1 dan 2 saya sedang sibuk. Ya itu, sibuk bergerombol. Teman semester 3 saya juga sedang sibuk. Ya itu, sibuk ngobrol.
Saya pergi sendiri ke pagar ini dengan perut buncit. Banyak ruang di perut saya. Tapi ruangan itu kosong. Cuma berisi saya dan makanan kemarin yang belum bisa dibuang.
Wah, tadi angin menampar-nampar pelan ke wajah saya. Nggak tau motifnya apa. Mungkin nyapa, mungkin naksir. Saya nggak tau. Dan yakin kalo saya nggak mau tau.
Itu. Itu yang namanya Zaki. Rambutnya besar dan kepalanya mirip bunga matahari. Mekar dan besar. Menyapa saya. Bertanya, saya lagi apa. Ingin saya bilang ke dia kalau saya sedang kentut. Tapi saya urungkan. Biarlah dia merasakan fakta itu seorang diri.
Saya lihat jauh ke belakang rambutnya. Ada Arif, Rico dan Dimas yang duduk-duduk. Sedang ditampar-tampar angin juga rupanya.
Nggak lama setelah Zaki mengatai saya dengan kata-kata “Nulis apa”, mereka ikut datang ke pagar yang nggak boleh diduduki ini. Menggendong tas mereka masing-masing.
Mereka berkumpul, bernyanyi. Nyanyi akapela. Membuat saya buka mulut. Kasih liat gigi, tertawa. Dengar itu, mereka bikin ribut dengan lagu Rap campur Dangdut-nya. Norak. Tapi saya nggak pergi menjauhi mereka. Hanya nonton dan nyengir.
Capek nyanyi, mereka mulai ngomongin tentang perempuan. Mulai dari perempuan yang lewat di depan kampus, sampai ramuan maut mengganyang perempuan. Subhanallah… Lagaknya kayak nggak ada perempuan aja disitu. Mereka kira saya ini sekelamin dengan mereka?
Tiba-tiba, teman mereka datang menjinjing kamera. Meminjamkan si kamera ke Arif. Oh, nggak perlu waktu lama untuk meyakinkan diri kamu, bahwa mereka adalah banci kamera sejati. Lihat Zaki, pakai bando di kepala. Bikin bunga matahari berubah seperti konde.
Mereka dan saya, sibuk foto-foto tanpa peduli sekeliling. Toh, dunia sudah indah. Dunia nggak perlu saya untuk memperindah dirinya. Saya cuti sebentar. Mau foto-foto dulu. Supaya barangkali nanti foto itu disimpan, bisa jadi kenangan yang berharga tentang saya, kalau-kalau nanti saya jadi selebriti.